Latest Post

Pelajaran Dari Kematian Tokoh Munafiq Abdullah Bin Ubay

Written By Admin on Rabu, 28 Maret 2012 | 10.35

Cyber Sabili-Jakarta. Berkali-kali al-Qur’an menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan perbuatannya  yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang menimpa Ummul Mukminin “Aisyah” ra al Qur’an mengisyaratkan Abdullah bin Ubay sebagai pembesar yang mengendalikannya.

Muhith Muhammad Ishaq

Hingga tahun ke sembilan Hijriyah, sepulang Rasulullah saw dari perang Tabuk, di akhir bulan Syawwal Abdullah bin Ubay menderita sakit. Mendengar Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Usamah bin Zaid bercerita: “Saya bersama Rasulullah saw mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sakit untuk membesuknya. Rasulullah saw mengingatkan Abdullah bin Ubay “Bukankah saya sudah melarang kamu dari dahulu agar tidak mencintai orang-orang Yahudi?” Abdullah bin Ubay menjawab sekenanya, “Dulu Sa’d bin Zurarah membenci orang-orang Yahudi, kemudian Sa’d bin Zurarah mati.”

Rasulullah saw tidak kehilangan sisi kemanusiaan yang bermartabat meskipun kepada orang yang sering Rasulullah ketahui dari Allah SWT sebagai pembuat masalah dan fitnah di dalam barisan kaum Muslimin. Secara zahir Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia berhak mendapatkan hak keIslaman itu dengan dibesuk ketika sakit.

Pada bulan kerikutnya, bulan Dzulqa’dah Abdullah bin Ubay wafat. Anak lelaki Abdullah bi Ubay, yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah saw, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi Abdullah bin Ubay, ayahnya. Dan Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan memberikan kainnya kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk menjadi kafan bagi jenazah ayahnya.

Kemudian Abdullah bin Abdullah juga meminta agar Rasulullah saw berkenan datang menshalatkannya. Maka Rasulullah saw datang untuk menshalatkan jenazah itu. Ketika Rasulullah saw berdiri hendak menshalatkannya, Umar bin Khaththab menarik baju Rasulullah saw dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah, Engkau akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatkannya?

Rasulullah saw menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya lebih dari tujuh puluh kali.

Umar berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafiq”. Setelah Rasulullah saw menshalatkannya, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84)
Rasulullah saw menshalatkannya ketika itu karena memperlakukannya secara zahir, yaitu pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi zahirnya, urusan hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.

Bisa juga dimaknai bahwa Rasulullah saw menshalatkan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- untuk menghormati anaknya –Abdullah bin Abdullah bin Ubay- yang merupakan salah satu sahabat mulia. Sedangkan pemberian kain Rasulullah saw sebagai kain kafan Abdullah bin Ubay bisa difahami sebagai pembuktian karakter Rasulullah saw yang tidak pernah menolak permintaan siapapun selama Rasulullah saw memilikinya. Bisa juga difahami bahwa Rasulullah saw tidak pernah melupakan kebaikan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- di samping keburukannya yang tidak terhitung.

Bagi Abdullah bin Abdullah bin Ubay kematian ayahnya itu menjadi salah satu bukti bahwa berbakti kepada orang tua tetap dilakukan oleh seorang anak, meskipun ia tahu bahwa ayahnya bergelimang dosa dan berlumur maksiat. Selama orang tua itu tidak menyuruhnya berbuat maksiat atau melarangnya beramal shalih.
Orang baik akan senantiasa membuat kebaikan meskipun kepada orang  yang tidak baik. Sedangkan orang yang tidak baik akan terus membuat keburukan meskipun kepada orang yang membuat kebaikan.  
Wallahu a’lam.

Penulis: Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirasah Islamiyah Al Hikmah, Jakarta. Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darul Hikmah Bekasi. Anggota Badan Pengembangan Yayasan Islamic Center IQRO Pondok Gede Bekasi.

Mujahid Badui Penakluk Imperium

Apa penjelasannya, bahwa 3.000 mujahid dari badui-badui gurun jazirah Arab, berani melawan 200.000 pasukan Romawi dalam perang Muktah? Mereka tidak menang, memang, dalam pertempuran yang berlangsung tahun kedelapan hijriah itu. Tiga panglima mereka gugur sebagai syuhada; Zaid Bin Haritsah, Ja’far Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Rawahah. Ketika Khalid mengambil alih kepemimpinan, yang ia lakukan adalah mundur teratur untuk menyelamatkan nyawa mujahidin yang tersisa.

Sementara anak-anak melempari mereka dengan batu saat kembali ke Madinah, karena dianggap melarikan diri, Rasulullah justru menggelari Khalid sebagai Syaifullah Al Maslul. Pedang Allah yang terhunus. Menyelamatkan nyawa pasukan adalah keputusan bijak seorang pemberani. Berhasil mundur dari kejaran pasukan sebesar itu adalah keahlian tempur seorang jenius perang. Tapi berani melawan pasukan sebesar itu adalah pesan penting bagi Romawi; pertempuran sudah kita mulai, dan kami akan kembali.

Perang Yarmuk adalah saksi kejeniusan perang Khalid. Pertempuran yang terjadi sekitar enam tahun setelah setelah pertempuran Muktah itu, memang terlalu legendaris. Bayangkan 36.000 mujahid Muslim melawan 240.000 pasukan Romawi. Gelar Rasulullah Saw kepada Khalid jadi kenyataan. Sejak itu Romawi diusir dari wilayah jazirah Arab, Syam kemudian Mesir.

Apa penjelasannya, bahwa mujahid Badui itu bisa menaklukkan imperium besar seperti Romawi dan Persi? Dalam pendekatan aqidah dan iman, kemenangan itu dapat dengan mudah ditafsirkan. Tapi dalam pendekatan strategi perang, kita mungkin perlu mempelajari The Art of War dari Sun Tzu, strategi perang tertua yang ditulis 500 tahun sebelum Masehi dan telah mengilhami China dan Jepang selama 2400 tahun. Atau The Military Institution of The Romans yang ditulis oleh Vegetius kepada Valentinian II sekitar tahun 390 M, dan kelak mengawali pengembangan tentara regular di Eropa. Atau My Reveries Upon Art of War yang ditulis Jenderal Maurice De Saxe tahun 1732 M. Strategi ini merupakan kembangan ide-ide Vegetius dan kelak banyak mengilhami Napoleon seperti diurai Stonewall Jackson dalam The Military Maxims of Napoleon. Atau The Secrets Instruction Frederick The Great to His Generals yang secara kebetulan ditemukan dalam kopor kecil Jenderal Czetteritz tahun 1760. Atau On War dari Carl Von Clausewitz’s tahun 1832. Kedua pemikiran strategi militer inilah yang melatari semua pengembangan strategi perang Jerman.

Kebesaran Mujahid Badui yang telah menaklukkan Imperium Persi dan Romawi itu hanya mungkin kita pahami dalam kerangka pemikiran-pemikiran strategi perang itu. Khalid tumbuh dalam tradisi perang gerilya yang menjadi ciri perang masyarakat jazirah. Tapi ia menguasai cara berpikir tentara regular Romawi yang mengusai pola perang konvensional dengan alutsista besar sejak 200 tahun sebelumnya. Keteraturan adalah ciri pasukan Persi dan Romawi, atau tentara Modern. Ketidakteraturan adalah ciri pasukan gerilya. Diperlukan waktu untuk menemukan pola dalam ketidakteraturan itu. Khalid mempelajari keteraturan itu sebagai sebuah kekuatan, tapi tetap menggunakan pola perang gerilya sebagai kombinasi dari pusat kekuatannya. Tapi mereka gerilyawan yang agresif. Jadi secara strategi ia unggul. Ia tahu cara berpikir musuhnya. Tapi musuh tidak tahu keseluruhan cara berpikirnya. Ketahuilah cara berpikir musuhmu, tapi jangan berpikir dengan cara berpikirnya. 

[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi]

Nol Bukan Kosong

“Isi adalah kosong. Kosong adalah berisi” Kalimat itu pernah kudapat dari film kera sakti. Kalimat yang pernah diucapkan oleh guru sun go kong, biksu Tong Sam Cong. Sedangkan salah satu dosenku pernah bilang bahwa perkataan itu tidaklah benar. Kosong, ya tetap kosong. Berisi, ya berisi. Tidak mungkin orang yang tidak pernah mau mengisi otaknya dengan belajar bisa serta merta otaknya menjadi berisi dan bisa disamakan dengan orang pintar. Oleh karena itu, kosong tidak berisi dan berisi tidaklah kosong. Berbicara tentang kosong, aku teringat pada sebuah angka yang ditemukan oleh Al Khawarizmi. Angka nol. Angka yang kemudian menyempurnakan banyak bilangan. Apakah nol sama dengan kosong? Jawabannya adalah belum tentu. Jika nol berdiri sendiri, angka ini tidak mempunyai arti, alias nol sama dengan kosong. Tapi tanpa angka nol, semua bilangan bisa menjadi kacau. Tak kan ada bilangan ganjil dan genap jika tidak ada angka nol. Bayangkan jika orang berhitung dari angka 1. Setelah angka 9, lalu angka apa? kalau saja tak ada angka nol, setelah Sembilan langsung angka 11. Lalu pertanyaannya, angka 11 itu ganjil ataukah genap? Jika ganjil, maka angka 9 angka ganjil atau genap? Jika hitungan itu diteruskan, akan terjadi ke-tidak-konsekuen-an antara bilangan ganjil dan genap. Angka 1 disebut ganjil, lalu angka 11 termasuk apa? angka 21, 31, 41, jenis bilangan apa? 

Alhamdulillah seorang ilmuwan muslim telah memecahkan permasalahan ini. Dengan angka nol yang telah ditemukan oleh Al Khwarizmi, masalah itu bisa dibereskan dan ilmu menjadi berkembang seperti saat ini. Segala hal yang diciptakan oleh Allah mengandung banyak pelajaran. Tak terkecuali angka nol. Banyak orang yang menganggap amalan-amalan kecil bernilai kosong, bukan nol. Akibatnya, banyak yang tidak mau mengerjakan amal-amal kecil. Memungut sampah di jalan, misalnya. Menyelamatkan semut yang berada di tengah-tengah air yang sedang berjuang mencapai daratan, menyirami bunga yang layu, memberikan uang recehan pada anak jalanan yang mengelap motor di perempatan lampu merah, membantu menyeberangkan orang tua, mengucapkan salam setiap bertemu saudaranya, tersenyum, atau amalan-amalan kecil lainnya yang sering kali enggan dilakukan karena “nilainya” kecil. 

Padahal sesuatu yang kecil yang dilakukan secara terus-menerus lebih baik dari pada sesuatu yang besar, tapi bersifat insidental. Sedikit-sedikit, lama-lama akan jadi bukit. Layaknya angka nol yang seringkali disamakan dengan kosong. Amalan-amalan kecil pun sering dianggap kosong. Padahal sebenarnya tergantung dimana meletakkan angka nol itu. Jika nol diletakkan sebelum angka 1, maka nilainya hanya 1, meskipun jumlah yang dituliskan banyak. Inilah gambaran orang yang menyepelekan amalan kecil. Tapi jika letaknya setelah angka 1, nilainya akan jauh lebih besar, walaupun jumlah angka nol yang ada hanya sedikit. Dua buah angka nol dituliskan sebelum angka 1, akan menjadi sia-sia, 001 tetap sama dengan 1. Jika dibalik, akan menjadi 100, lebih banyak dari angka 1. Jika melakukan amalan, meskipun kecil, tapi diniatkan untuk ibadah, maka ibarat angka nol yang diletakkan setelah angka 1, Ia berlipat ganda. Terkadang sesuatu yang kecil itu sering disepelekan, tapi sesungguhnya dari hal-hal yang kecil inilah bisa menghasilkan sebuah perubahan besar. Jika belum mampu melaksanakan yang besar, istiqamahlah pada yang kecil. Karena segala hal yang besar itu tersusun oleh hal-hal yang kecil. Tanpa adanya sekumpulan sel, otot tidak akan pernah terbentuk. Tanpa adanya proton-netron, atom tak akan ada. Tanpa adanya tentara-tentara yang hebat, panglima perang tidak akan berdaya melawan musuhnya. 

Fenomena “Komunitas PKS” yang tak ada di partai lain

Suka atau tidak suka, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi sebuahfenomena. PKS telah membuktikan diri sebagai parpol yang solid, hidup, dan kuat. PKS tampaknya bukanlah parpol biasa yang konvensional. PKS adalah parpol dengan genre baru yang unik yang telah menjadi semacam komunitas.

Apa yang disebut dengan “komunitas PKS” itu ada dan nyata. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa kata partai, itulah kata anggotanya! Sementara dalam parpol lain, apa kata partai tidak selalu paralel dengan apa kata anggota. Padahalparalelisme seperti itu sangatlah sentral dan signifikan dalam sebuah partai politik.

Paralelisme ini bukan hanya menunjukkan soliditas dan solidaritas internal partai, tetapi juga merefleksikan adanya saling kepercayaan (mutual trust) antara anggota dan pimpinan yang juga menunjukkan berjalannya mesin politik sebuah partai. Manakala mesin politik tidak berjalan, sejatinya partai politik tersebut telah kehilangan raison d’etre-nya.

Tan Malaka dalam bukunya Aksi Maksa (1926) menegaskan bahwa “keputusan yang setengah betul tetapi dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota lebih baik daripada keputusan yang bagus sekali tetapi dikhianati oleh setengah anggota”.

Frase ‘dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota’ ini penting karena perasaan gembira inilah yang menjadi roh partai. Seluruh barisan anggota bersedia bekerja menjalankan keputusan partai dengan gembira-meski keputusannya hanya setengah betul-,ini menunjukkan mesin politik dalam partai tersebut berjalan. Inilah yang disebut dengan partai politik yang sebenarnya alias partai politik par excellence!
Sangat sedikit
Di Indonesia sangatlah sedikit parpol yang organisasinya hidup, solid, dan kuat seperti itu. Di antara yang sedikit itu,demikian menurut banyak studi, adalah-jangan terkejut-Partai Komunis Indonesia (PKI). Antonie CA Dake dalam In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking (2002) menggambarkan betapa hidup dan dinamisnya PKI di bawah kepemimpinan Aidit.

Di samping berhasil menghela partai keluar dari isolasi politik, Aidit menerapkan disiplin partai serta membuka diri dengan menggandeng aliansi dengan kalangan borjuis nasional. Begitu pula, “The party was to increase its membership in six months from around 7,000 to 100,000. At the same time, a multitude of mass organizations were to be created or revamped, encompassing not only workers and peasents but also youth, women, poor people,ex-servicemen, and others.”

Sementara Tempo (7 Oktober 2007) melukiskan dengan sangat baik sebagai berikut, “Kantor PKI adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek bengek lainnya seperti anggota yang meninggal dan melahirkan”.

PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar–jumlah yang fantastis untuk zaman itu!”

Kini PKS

Tetapi benarkah hanya PKI yang berhasil membangun partai politik yang solid, hidup, dan dinamis seperti itu? Dake dan Tempo harus melakukan koreksi atas teorinya itu atau setidaknya menoleh ke PKS.
Pasalnya, kini telah muncul partai seperti itu, yaitu PKS! Meski secara ideologi dan cita-cita berbeda secara diametral, PKS seperti halnya PKI memiliki mesin organisasi yang hidup, kuat, dan dinamis. Rapat-rapat massa dan rally PKS yang selalu rapi dan disiplin menambah bukti hidupnya partai ini. PKS mengurus anggotanya dan karena itu anggotanya juga menjalankan keputusan partainya, termasuk membayar iuran karena merasakan manfaat dari kehadiran partainya.

Partai bukan hanya menguntungkan dan menjadi alat bagi elitenya, melainkan juga bagi anggotanya dan cita-citanya. Di PKS, presiden partai harus berkonsentrasi penuh untuk mengurus partai dengan segala tetek bengeknya. Ada konvensi yang unik dan menarik di PKS: jika presiden partai terpilih menduduki jabatan publik, dia harus melepaskan jabatannya di partai.

Walhasil, dengan tradisi ini, orang yang bersangkutan bukan hanya tidak dihadapkan pada situasi dilematis karena konflik kepentingan akibat perangkapan jabatan, melainkan juga waktu, energi, dan pikirannya tercurah untuk partai atau jabatan politik yang dipegangnya. Sementara partai-partai politik lain justru punya kelaziman yang sebaliknya: memilih orang yang sedang menduduki jabatan publik (berkuasa) untuk menjadi ketua.

Di sisi lain, untuk mengamankan jabatan publik yang sudah diraihnya (menteri, gubernur, bupati, dan lain-lain), orang tersebut justru semakin memperkuat cengkeramannya dalam partainya. Rupanya ada psikologi ketakutan dalam diri orang-orang ini bahwa jika posisinya di partai lepas akan membahayakan jabatan politiknya itu.

Walhasil, alih-alih membangun partai menjadi kuat, mereka justru memperalat partai! Dalam suasana kepartaian yang seperti itulah PKS dengan spirit yang merona menyeruak ke depan dalam pentas politik nasional. Primus inter minus malum! (*)

Yang tak terliput dari Pak Dayat

Siang yang terik tak mengurangi antusiasme warga Pleret Bantul berkumpul di lapangan Pleret. Duka akibat gonjangan gempa dua pekan lalu yang menewaskan ribuan orang juga belum hilang. Apa yang membuat mereka begitu antusias mendatangi lapangan?

Hari ini, ada tamu istimewa yang hadir ke desa mereka di Pleret Bantul. Tamu itu adalah Hidayat Nur Wahid, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pak Dayat, begitu beliau dipanggil akan berkunjung ke desa yang terkena dampak gempa sangat parah di Jogya sekaligus peletakan batu pertama pembangunan rumah bantuan dari donatur. Masyarakat begitu merindukan kehadiran pejabat negara yang memang juga berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi mereka. Menurut berita, Pak Dayat keluarga Pak Dayat di Klaten juga terkena musibah gempa.

Siang makin terik, masyarakat tak juga melihat ada tanda-tanda seorang pejabat negara datang. Tiba-tiba saja, bunyi mikrophone dari tengah lapangan berbunyi.

“Yang Terhormat, Ketua MPR, Bapak Hidayat Nur Wahid selamat datang di desa kami.”

Suara pembawa acara sudah bergema sampai terdengat sekitar 25 m dari tempat acara yang berada di tengah lapangan.

“Loh, sudah datang, toh. Kapan datangnya?”

“Sudah lima belas menit lalu, Pak” saya menimpali pertanyaan seorang bapak tua yang dari tadi menunggu kedatangan Ketua MPR itu.

“Loh, biasanya ada sirine dan banyak polisi toh. Lah, ini seperti tidak ada apa-apa.”

Bapak tua itu heran karena biasanya selalu ada kehebohan kendaraan pengawal dan rombongan pejabat lainnya yang mengiringi. Ternyata Pak Dayat menaiki mobil biasa tanpa pengawalan. Bahkan Camat Pleret sampai tergopoh-gopoh mengejar Pak Dayat karena keduluan ketua MPR datangnya.

Acara diadakan di tengah lapangan. Para pejabat disediakan kursi empuk sementara warga hanya duduk lesehan beralaskan tikar. Ketika giliran Pak Dayat member sambutan, beliau kemudian turun dari kursinya dan duduk lesehan.

“Maaf bapak Ibu, bukannya saya tidak menghargai, supaya kita lebih dekat. Saya duduk nggih.” Begitulah perkataan yang saya tangkap dari obrolan beliau dengan warga dalam bahasa jawa yang sangat halus. Akhirnya pejabat dan tokoh masyarakat yang mendampingi Pak Dayat ikut lesehan. Jadilah kursi empuk yang disediakan panitia jadi kosong melompong.

Saya kagum dengan sikap sederhana beliau. Datang tidak mau merepotkan dan ketika diberi fasilitas beliau memilih fasilitas yang sama dengan warga.

Setelah acara peletakan batu pertama pembangunan rumah bantuan untuk korban gempa yang difasilitasi oleh Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Pak Dayat dikerumuni oleh warga untuk bersalaman. Beliau menyambut uluran tangan warga dengan senyum sambil menyempatkan berbincang walau sejenak.

“Assalamu’alaikum, Pak Dayat.” Saya memberanikan diri menyapa beliau.

“Wa’alaikum salam. Apa Kabar Mas. Terima kasih ya sudah bantu.”

Terkesiap saya menerima uluran tangan dan kata-kata yang indah ini. Kata-kata beliau memberi energi baru bagi saya untuk menjalani tugas kemanusiaan sebagai relawan di Jogja saat itu, Juni 2006. Keletihan saya selama sepekan mendadak sirna oleh sapaan hangat dan rendah hati dari seorang pejabat tinggi negara.

Saya menjadi saksi atas pengakuan banyak orang tentang kesederhanaan dan kerendahan hati Dr. Hidayat Nur Wahid yang saat ini mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur Jakarta. Warga Jakarta kini memiliki banyak pilihan untuk mengangkat pemimpin daerahnya dan Hidayat Nur Wahid memberikan pilihan bagi warga yang ingin pemimpin berkarakter sederhana, rendah hati serta dekat dengan rakyat.


Achmad Siddik | @achmadsiddik
Relawan Gempa Jogja | Perawat Komunitas Pohon Inspirasi


*http://politik.kompasiana.com/2012/03/22/kisah-yang-tak-terliput-dari-hidayat-nur-wahid/

Wawancara Hidayat Nur Wahid: "Tidak ada istilah 'turun pangkat' dalam pengabdian"

Nama Hidayat Nur Wahid mengejutkan setiap orang pada akhir masa pendafaran bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta pada Senin (19/3).
Mantan Ketua MPR itu didaftarkan Partai Keadilan Sejahtera bersama Didik J Rachbini sebagai pendampingnya.

Banyak kalangan yang menganggap keputusan Hidayat tersebut konyol. Apalagi terkait pencitraan terhadap dirinya yang turun tangga dari Ketua MPR menjadi calon gubernur.

Berikut petikan wawancara singkat bersama Hidayat Nur Wahid perihal pencalonannya tersebut.


Bagaimana ceritanya bapak tahu-tahu dicalonkan sebagai gubernur, sedangkan selama ini bapak tidak pernah tampil atau digadang-gadangkan namanya oleh PKS?

Saya sendiri juga terkejut sebenarnya. Saya berkali-kali bilang kepada teman-teman pers dan siapa saja yang bertanya langsung tentang hal ini. Saya tidak pernah mencalonkan diri.

Malah saya itu sampai hari terakhir pendaftaran pekan lalu masih berusaha keras mendorong Triwisaksana untuk maju dan mencarikan wakilnya. Tahu-tahu musyawarah justru mencalonkan saya.


Bagaimana dengan banyak pernyataaan bapak seolah-olah tengah menurunkan citra sendiri, dari Ketua MPR kemudian pernah juga dicalonkan sebagai Presiden kok sekarang malah mengincar DKI 1?

Sekali lagi saya tegaskan saya tidak pernah mencalonkan diri, melainkan diajukan partai. Bagi saya tidak ada istilah turun gunung, karena mengabdi itu bisa di mana saja dengan profesi apa pun.

Titel, jabatan itu sama sekali tidak mempengaruhi fungsi pengabdian. Kami terbiasa dengan budaya ini. Jadi tidak ada istilah 'turun gunung' (turun pangkat) dalam pengabdian. Mengabdi ya mengabdi saja.


Terkait dengan isu pluralisme yang selama ini melekat dalam diri anda, apakah anda tidak merasa hal itu akan menjadi penghambat jalan anda menuju DKI 1?

Justru menurut saya hal itu malah akan menjadi pemulus langkah saya. Saya ini seorang pluralis sesuai dengan karakter Jakarta yang lekat dengan perbedaan.***


*http://kabarpolitik.com/2012/03/25/wawancara-hidayat-nur-wahid/

Emak, ku pinta Doamu

Bismillahirrahmanirrahim..
A true Story. Sebuah kisah menggugah, diceritakan sendiri oleh pelaku sejarah yang monumental yaitu Imam Bukhari.
Saat berada di Mekkah, beliau sempat mengalami sebuah kebutaan, tetapi kemudian beliau sembuh. So..bagaimana beliau bisa sembuh ?? benar sekali, Doa dari Ibu beliau adalah Kuncinya. Ibu beliau sangat prihatin dengan keadaannya, sang Ibu banyak mendoakan untuk kesembuhan putranya. Suatu ketika Ibunya bermimpi. Dia melihat Nabi Ibrahim dalam mimpinya berkata kepadanya “ Sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu, berkat doamu yang banyak “

Imam Bukhari mengisahkan : “ Benar, pagi-pagi sekali, Allah mengembalikan penglihatan mataku “  ( The Great Power of Do’a, Solikhin Abu Izzuddin )
Subhanallah, luar biasa kisah diatas. Bagaimana doa membuat seorang Imam Bukhari kembali bisa menatap indahnya dunia. Dahsyatnya doamu Mak.

Coba kamu ingat-ingat, berapa kali kamu meminta doa ibumu sampai kamu dewasa ?? sekali ?? dua kali ?? atau bahkan kamu tidak pernah meminta hanya menunggu partisipasi ibumu untuk mendoakan kamu ??
Memang, tanpa diminta juga ibumu akan selalu mendoakanmu, itu tanpa kamu minta. Bayangkan bila kamu meminta doa kepada ibumu, tentu ibumu gak akan nolak kan ?? Pernah kah kamu minta doa terhadap ibumu ?? kenapa ?? malu yaa minta doa sama ibu ??
Lho ngapain sih pake minta didoain toh ibu juga udah sering doain ??
Why not ?? Banyak pentingnya. Salah satunya kamu bisa menyamakan kemauanmu, keinginanmu, mimpimu dengan doa ibumu. Kalo kamu memimpikan seseorang yang shaleh atau shalehah untuk sebuah pernikahan, kamu bisa meminta ibumu untuk menyamakan doamu dengan doa beliau yaitu memberikan pendamping yang shaleh. Pasti lebih dahsyat.

“ Tiga orang yang doanya tidak ditolak adalah doa orangtua ( ibu bapak ), doa orang yang dianiaya dan doa orang yang sedang dalam perjalanan ( musafir ) “ ( Hr Al Baihaqi )
Bisa jadi, kehidupan mu yang sekarang ini tak lepas dari doa ibumu. Atau mungkin kamu sekarang merasa hidupmu tertekan, keinginan, kemauanmu atau mimpimu belum terwujud, mungkin saja karna kamu gak pernah meminta ibumu untuk mendoakan harapan dan cita-citamu. Bagaimana ibumu tahu apa yang kamu mau, yang kamu impikan kalo kamu gak ngasih tahu ibumu ??

Mulailah dari sekarang, jadikanlah doa ibumu sebagai sebuah kebutuhanmu. Beritahukan keinginamu terhadap ibumu agar doamu dan doa beliau menjadi satu pilar untuk menggapai keinginanmu. Karna doa ibumu adalah kunci suksesmu sekarang dan dimasa akan datang. Yakinlah.
kaulah ibuku cinta kasihku
terima kasihku takkan pernah terhenti
kau bagai matahari yang selalu bersinar
sinari hidupku dengan kehangatanmu

bagaikan embun kau sejukkan
hati ini dengan kasih sayangmu
betapa kau sangat berarti
dan bagiku kau takkan pernah terganti

( Ibu, hadad alwi dan Farhan )
Wallahua’lam bish shawwab.

Menuju DKI-1

More post »

Ammah

More post »

Bidang Kewanitaan

More post »
 
Support : PKS TEMPLATE | Blog Developer
Copyright © 2012. PKS 2 - All Rights Reserved
DPD PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
KABUPATEN MAJAPAHIT
Jl. Mudah Dicari No.1A Majapahit - Telp.0299-2416807