Definisi jiddiyah adalah: menjalankan tugas-tugas syar’i, tarbawi, tanzhimi, dengan cepat, tabah, mengerahkan seluruh potensi secara maksimal serta dapat mengatasi hambatan yang dihadapinya demi terlaksananya tugas tersebut secara optimal.

Syarat-Syarat Jiddiyah
Dari definisi di atas, maka jiddiyah memiliki 5 syarat:
  1. Al-istijabah al-fauriyah (responsif)
  2. Al-azmul Qowiy (kesungguhan yang kuat)
  3. Al-mutsabarah (tabah dan ulet)
  4. Taskhiru kullil imkanat (mengerahkan seluruh potensi)
  5. Mughalabatul ‘adzar (dapat mengatasi segala permasalahan hidup)
Al Istijabah Al Fauriyah
Kader militan adalah kader yang ketika mendapat tugas dan mendengar perintah dari qiyadah (pemimpin, murobbi, atau pembina) meresponnya dengan cepat-cepat tanpa ragu atau berkomentar, karena ia memahami bahwa tugas dan perintah yang datang dari qiyadah adalah untuk segera dilaksanakan bukan untuk didiskusikan.
Demikianlah para sahabat memahami perintah ketika turun ayat yang mengharamkan khamar (Al-Maidah : 90-91). Begitu mereka mendengar perintah untuk meninggalkan khanar langsung mereka tinggalkan seraya berkata intahaina.. intahaina.. (kami telah tinggalkan, kami telah tinggalkan). Contoh lain tentang perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsho ke Masjidil Haram (Al-Baqarah: 143). Disaat mereka sedang sholat datang berita tentang berubahnya arah kiblat, mereka langsung berbalik arah dari menghadap utara (arah Baitul Maqdis) menjadi menghadap selatan (arah Ka’bah) sehingga masjid tempat mereka sholat saat itu diberi nama Masjid Qiblatain (masjid dua qiblat).
Dan contoh yang ketiga adalah mengenai para sahabat wanita dalam melaksanakan perintah menutup aurat (hijab) (QS An-Nur 31). Begitu mereka mendengar perintah memakai hijab melalui para suami mereka, langsung mereka laksanakan perintah itu. Selain itu masih banyak contoh-contoh lainnya.

Al Azmul Qowiy.
Aktifis dan kader dakwah harus memiliki semangat dan kesungguhan yang kuat, karena amanah yang diembannya sangat berat. Di antara do’a Rasul : “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ketidak berdayaan dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan kikir, aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang membelenggu dan tertindas oleh orang yang jahat.” Dan Umar bin Khattab berdoa, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ketidakberdayaan orang sholeh dan keberdayaan orang jahat.”
Di dalam surat Ali-Imran ayat 146 Allah telah menjelaskan sifat kader militan: ” Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. ”
Para sahabat yang baru saja selesai perang uhud dalam kondisi luka-luka dan belum sempat istirahat menerima tugas baru yaitu mengejar pasukan musyrikin Quraisy dalam perang Hamra Al Asad, mereka melaksanakan perintah qiyadah (Rasul) walaupun harus dengan menandu dan menggendong sebagian sahabat yang tidak mampu berjalan. Kita tahu betapa sahabat Mush’ab bin Umair pada perang Uhud membawa panji pasukan Islam. Tangan kanannya putus terkena pedang musuh, lalu panji dipegang dengan tangan kiri, tangan kirinya putus kemudian ia merangkulnya dengan kedua sikunya dan ia terus maju sampai syahid.

Al Mutsabarah
Kerja da’wah adalah kerja besar yang tak kan berakhir kecuali dengan kematian. Perjalanan dakwah penuh dengan ujian, cobaan, tantangan dan rintangan. Tidak ada yang sanggup menjalaninya kecuali orang-orang yang telah menjadikannya tugas pokok dan utama yang tidak bisa dikalahkan dengan tugas apapun, keberlangsungan dakwah menjadi fokus perhatiannya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, beliau tidak mengenal lelah, letih, capek, jenuh, atau malas. Beliau tidak pernah menyerah atau mundur.
Ketika orang-orang kafir Quraisy musuh dakwah mengancam untuk menghabisi nyawanya, ia berkata: “Demi Allah, sekalipun mereka dapat meletakkan matahari di samping kananku dan bulan di samping kiriku, aku tidak akan berhenti berdakwah dan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku mati di jalannya.
Para sahabat generasi terbaik yang langsung di bawah arahan Rasul meneruskan jalan Rasul. Mereka berdakwah dengan meninggalkan kampung halaman, negeri dan tanah air, isteri, anak, dan harta benda sehingga panji Islam berkibar di seluruh dunia. Kehidupan mereka adalah jihad yang tak henti-henti dan pengorbanan yang tanpa batas dalam membela Islam.

Taskhir Kullil Imkanat
Da’wah menuntut para aktifis dan kader untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki berupa pemikiran, harta, waktu, tenaga, jiwa dan raga. Sehingga tidak ada potensi yang dimilikinya kecuali telah diberikan untuk kepentingan dakwah.
Saat ini sebagian kader belum maksimal dalam memperjuangkan dakwah. Kita baru memberikan sisa potensi untuk dakwah, sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, dan sisa dana. Sehingga hasilnya pun belum terlihat nyata.
Allah telah mengingatan kita: “Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS At-Taubah 24).
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah 111)

Mughalabatul ‘Adzar
Amanah dakwah hanya dapat diemban oleh orang-orang yang memiliki azimah (idealisme yang tinggi) bukan orang yang memilih tujuan yang rendah, senang dengan hidup santai dan rileks, memilih istirahat dan tidak mau susah. Da’wah hanya dapat dikerjakan oleh orang yang dapat mengalahkan udzur bukan pandai membuat udzur, berupaya maksimal untuk terus aktif di medan jihad dan memberikan kontribusi yang terbaik buat dakwah.
Salah satu contoh sahabat bernama Amru bin Jamuh, seorang tua renta yang kakinya pincang dan nyaris buta. Begitu mendengar seruan jihad, ia langsung menyatakan ingin bergabung dalam barisan para mujahidin walaupun ketiga anaknya melarang dengan alasan mereka sudah mewakili keluarga dan sudah sangat cukup udzur baginya untuk tidak ikut jihad. Tapi apa komentarnya? Ia berkata masalahnya adalah surga. “Apakah kalian dapat memberikan jaminan surga buat saya kalau saya tidak ikut jihad?” Hingga akhirnya ia mendapat restu dan do’a dari Rasul. “Ya Allah masukkanlah ia ke dalam surga dengan kakinya yang pincang!” Akhirnya ia mati syahid di medan perang. Ia tidak menjadikan udzur sebagai hambatan dan penghalang untuk ikut berperang. Walaupu tidak bisa angkat senjata, tapi dengan ia bergabung ke dalam barisan mujahidin, ia dapat menambah jumlah tentara. Walaupun ia tidak berhadapan langsung dengan musuh, ia dapat menjaga barang-barang milik tentara di belakang. Ia selalu berpandangan positif ingin memberikan kontribusi langsung dan nyata untuk dakwah.

Urgensi Jiddiyah
Jiddiyah merupakan sifat asasi serta akhlak yang harus dimiliki oleh kader dan aktifis dakwah yang telah berbai’at kepada Allah, menjual dirinya untuk hidup dan mati demi dakwah. Jiddiyah dalam dakwah merupakan suatu keniscayaan, karena hanya dengannya amanah risalah dan kewajiban dakwah akan dapat diemban dan terealisasi dengan maksimal.

Ciri-ciri Jiddiyah:
  1. Menjaga dan memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang positif dan berguna untuk dakwah.
  2. Menghindari dari banyak bergurau dan bercanda. Di antara wasiat Imam Al-Banna adalah: “Janganlah kamu bercanda karena umat yang sedang berjihad tidak mengenal canda. Demikian juga dengan Sholahuddin Al-Ayyubi yang berkata: “Sungguh saya malu kepada Allah melihat saya tertawa sementara Baitul Maqdis sedang berada dalam genggaman orang-orang salibiyin.
  3. Memilih azimah ‘idealisme’ yang berat dan tifak memilih kemudahan-kemudahan karena dakwah tidak tegak di atas rukhsah.
  4. Melaksanakan tugas dengan segera, tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok, tidak lambat dan tidak malas.
  5. Selalu mengintrospeksi diri, memperbaharui janji kepada Allah dan selalu istighfar serta taubat atas segala dosa dan kesalahan.
  6. Dalam kondisi siaga selalu menanti perintah.
Ikhwah fillah, jadilah aktivis harokah dan praktisi dakwah. Jadilah orang yang terlibat di dalamnya, bekerja secara produktif. Dan jangan menjadi orang yang pandai mengkritik.

(Mjlh Tarbiyah)
Ustadz Abdul Muiz M.A.